Rabu, 02 Maret 2011

Biksu yang memumikan dirinya sendiri

Mumi...Siapa yang tidak pernah mendengar cerita ini, bagi yang pernah membaca salah satu artikel saya tentang mumi yang membawa kutukan mungkin cerita dibawah ini agak sedikit aneh.
Sokushinbutsu (即 身 仏), sebuah istilah untuk mumi yang satu ini, tidak seperti mumi Mesir atau lainnya yang disebut miira (ミイラ, sebuah kata yang berasal dari Portugis).
Berlainan dengan mumi Mesir, mumi Jepang ini tidak dibalsem setelah kematian orang tersebut. Sokushinbutsu berarti "Buddha hidup". Untuk mencapai status tinggi ini biksu dilatih sebagian besar hidup mereka  dipertapaan Mokujiki,  dalam menunjang kehidupannya mereka hanya mengkonsumsi air dan kacang-kacangan dan melakukan meditasi sepanjang hari. Proses ini membuat mereka kehilangan sebagian  berat tubuh sebanyak-banyaknya selama mereka tetap hidup. Begitu para pertapa telah merasa siap , setelah berpuasa selama berminggu-minggu, mereka kemudian dikubur hidup-hidup dalam kotak kayu di  dalam tanah dan dibiarkan untuk bermeditasi, proses mumifikasi dimulai dan akhirnya menuju kematian.  1.000 hari kemudian para pertapa yang telah terpendam ini digali oleh murid-murid mereka  dan jika penampilan mereka setelah ditinggal tidak berubah, mereka kemudian diberi status Sokushinbutsu.
Sekarang, praktek Sokushinbutsu dilarang oleh hukum, karena merupakan bentuk bunuh diri.

Mumi ini masih dipanggil oleh beberapa penduduk setempat Kami-sama, bisa diterjemahkan sebagai "Tuhan" atau "dewa". Hal ini mungkin tampak aneh bagi dunia Barat, tetapi istilah ini sebenarnya cukup luas dan biasa diterapkan dalam Shinto, atau status dalam kekaisaran Jepang . Dan tidak ada hubungannya dengan pandangan keagamaan umum di dunia sekarang.

Mumi-mumi Jepang ini ditemukan di sekitar daerah Yamagata, di wilayah Tohoku (Jepang Utara). Mungkin tidak lebih dari 6 yang ditemukan. Yang paling terkenal berada disatu kuil Dainichibou Ryusui-ji (泷 水 寺 大 日 坊,Shingon) di kota Tsuruoka.

Ini adalah mumi dari rahib Daijuku Bosatsu Shinnyokai-Shonin (1687-1783). Setelah 70 tahun hidup sebagai seorang pertapa, dan menjadi sokushinbutsu pada usia 96, setelah 42 hari puasa berturut-turut .Mumi lainnya dapat dilihat di kuil 寺 Nangaku-ji 南岳) juga di Tsuruoka, ketiga di-Zoukou (蔵 高 院, Zen Soutou) di kota Shirataka,, dan yang keempat di kuil Kaikou-ji (海 向 寺, Jisan sekte Shingon) di kota Sakata.

Di pegunungan Tibet, 12.000 meter di atas permukaan laut, tepatnya Giu village di Himachal Pradesh  India, terdapat sebuah rumah kecil yang didalamnya terdapat sebuah mayat, tapi mayat ini tidak seperti yang lain. Diyakini sejak berabad yang lalu, tidak pernah membusuk. Warga memujanya seperti dewa, siapa dia? Apa rahasianya? Mungkinkah benar, karena beberapa penduduk setempat mengatakan, bahwa orang ini sebenarnya memumifikasi dirinya sendiri.

Profesor Victor Mair, seorang antropolog dari University of Pennsylvania dan seorang ahli dalam Buddhisme  memimpin sebuah tim yang terdiri dari Profesor Margaret Cox, seorang forensik antropolog  dan Bruno Tonello seorang ahli radiograf. Mumi ini terletak dekat dengan salah satu daerah yang paling sensitif di dunia internasional - perbatasan antara India dan Cina. Akses ke situs dibatasi dan mereka hanya akan memiliki beberapa jam yang berharga untuk melakukan tes.

Selama ribuan tahun, rahib Buddha berkumpul di ini, dilembah-lembah terpencil yang tidak dapat diakses hanya untuk mempelajari ilmu roda kelahiran kembali dan seni mendekati kematian. Manuskrip kuno Tibet  menjelaskan bagaimana mereka akan memasuki alam rahasia lama yang telah hilang dari pikiran manusia.
Tubuh mumi dari orang Tibet ini ditemukan secara kebetulan, ketika dua petugas patroli perbatasan India dikirim untuk memperbaiki jalan, di Lembah Spiti, yang rusak akibat gempa bumi.
Ketika tim Profesor Victor Mair  mencapai rumah terpencil yang merupakan lokasi dan melihat mumi untuk pertama kalinya, mereka kagum pada keadaan baik tubuh yang diawetkan. Lebih dari itu, yang menariknya lagi karena tidak ada bukti teknik pembalseman tradisional sebagaimana mumi yang kita kenal seperti yang ada di mesir.

Tim ini semakin bingung dengan posisi aneh mumi ini dan berharap bahwa X-Rays mungkin bisa membantu mereka memutuskan jika posisi tersebut telah dibuat sebelum kematian, atau post-mortem. Kelengkungan tulang belakang dan postur umum menunjukkan ciri-ciri kehidupan biarawan. Setiap hari dari hidup para biarawan dimulai dengan nyanyian doa-doa suci, jam demi jam mereka membacakan ayat-ayat agama, yang dikenal sebagai mantra. Bahkan sebagai biarawan-biarawan muda, anak laki-laki  harus belajar untuk mengendalikan pikiran melalui meditasi sederhana. Beberapa biarawan akan berusaha untuk menguasai disiplin ilmu meditasi yang paling kuat, disiplin mental yang paling berbahaya di Tibet. Apakah postur mumi  menunjukkan bahwa ia mengejar disiplin ilmu ini ketika dia meninggal? Dan apa peranan sabuk kain aneh yang dipakai para biarawan ini?  

Sejak zaman kuno, biksu telah menggunakan tali sebagai alat bantu meditasi, atau ikat pinggang untuk menahan tubuh mereka dalam posisi yoga yang sulit. Tetapi posisi tali mumi yang berada di sekitar leher, sangat sulit untuk dijelaskan.

Tim kembali ke Inggris untuk melanjutkan tes di laboratorium, namun Victor tetap tinggal di belakang dan melakukan kunjungan ke salah satu sekte tertua Buddhisme Tibet. Nyingmapa adalah para penjaga  dari ilmu meditasi tantra yang paling rahasia . Viktor lalu bertemu dengan Tulku Spiti, Pemimpin sekte spiritual  dan master dari meditasi tantra. Victor bertanya kepadanya tentang sikap aneh posisi mumi dan Tulku mengatakan bahwa sabuk membantu dirinya menjaga posisi meditasi, dengan lutut ditarik ke dada. Tulku juga menunjukkan bahwa biarawan itu mungkin telah mempraktekkan salah satu bentuk meditasi tertinggi disebut zolk-shun. Postur yoga seperti ini juga menggunakan sabuk meditasi untuk membebaskan tubuh dan dapat melakukan perjalanan jauh ke dalam pikiran. Teknik ini diyakini  menciptakan kekuatan fisik luar biasa, begitu kuat dan berbahaya hingga  yang menguasainya hanya akan meneruskannya pada secara lisan kepada seorang biarawan pada suatu waktu tertentu saja. Hal ini juga menunjukkan bahwa praktisi zolk-shun dapat memanfaatkan pikirannya dengan cara yang luar biasa pada saat ia meninggal.

Di Boston, Dr Herbert Benson dari Harvard Medical School yang melakukan eksperimen pada rahib Buddha dari biara-biara Tibet untuk menilai efek dari meditasi pada metabolisme tubuh. Penelitiannya telah memberikan wawasan yang luar biasa dalam cara pikiran dapat mengubah fungsi tubuh.

Dia telah menemukan bahwa, bahkan dengan meditasi sederhana, para biarawan dapat mengurangi konsumsi oksigen mereka hingga 60%.Para biarawan yang berlatih Tumo, salah satu yoga untuk mengeluarkan panas dari dalam tubuh ( jadi ingat tulisan saya tentang firestarter), dapat meningkatkan temperatur kulit mereka ke titik di mana, dalam ukuran derajat 40 ° F. Dalam percobaanya mereka dibungkus dengan  lembaran kain basah yang dingin, dan para biarawan ini bisa meningkatkan suhu tubuh mereka ke tingkat di mana lembaran kain ini akan menguapkan air dan mengeringkan kain yang menutup badan mereka.


Victor mempertimbangkan kemungkinan bahwa jika para biarawan bisa mengeringkan lembaran kain basah dengan teknik visualisasi panas, maka mungkin mumi ini memiliki kekuatan yang cukup untuk melakukan hal yang sama, tetapi untuk mengeringkan tubuhnya.

Victor akhirnya mencoba mencocokkan potongan-potongan teka-teki , tidak di Tibet, tetapi di Jepang. Para biksu Budha Jepang telah lama melakukan ritual pengorbanan diri untuk meringankan beban rakyat mereka.
Kesimpulan yang dapat diambil bahwa puasa menyebabkan organ-organ internal dan otot menyusut, sehingga menghancurkan bakteri dalam ususnya. Dengan tidak adanya mikroba menggerogoti mayatnya, tubuh biksu-biksu ini dapat awet tanpa perlu dibalsem...
Victor lalu menerima berita dari Inggris. Tes Karbon telah mengungkapkan mumi Tibet menunjukkan angka kembali ke tahun 1475. Sehingga 500 tahun, jauh lebih tua dari mumi Jepang.
Hal ini juga menunjukkan bahwa tingkat nitrogen yang tinggi pada mumi menunjukkan biarawan itu sangat kekurangan nutrisi ketika ia meninggal. Fakta yang cocok dengan teori mumi Jepang.
Well...salah satu pengorbanan yang menarik....

Sumber : Wikipedia , mymultiplesclerosis, google images

Jumat, 12 November 2010

Sarkofagus gunung Arjuna sebuah peninggalan jaman megalitikum

Sebelum membaca lebih jauh ada baiknya saya sampaikan terima kasih saya kepada bro E yang telah memberi sedikit bantuan kepada saya, hingga saya mendapat tambahan referensi yang juga sebenarnya saya juga sudah mendapatkannya beberapa waktu lalu ( sulit juga kan bro,mencari bahan tulisan seperti ini di situs-situs lokal..? ).

Tulisan ini berdasarkan jurnal ekspedisi saya pada 22 Juli 2010. 
Udara malam menyelimuti dan mulai merasuk hingga ke sumsum tulang, nafas mulai terasa sesak dengan kabut tipis yang mengendap di hutan pinus laluan yang saya tempuh. Perlahan tapi pasti kaki-kaki yang masih kokoh ini menderap setapak demi setapak mengikuti jalan tikus menuju bukit Lesung. Jam masih menunjukkan 02.30 dinihari...perjalanan saya anggarkan hanya memakan waktu 1,5 jam saja tapi kabut tipis ini menahan laju perjalanan saya...well..mau apa dikata, memang beginilah kalau sedang berjalan di gunung.
Jam 04.45 sampailah saya digubuk bukit Lesung atau warga setempat memanggilnya Putuk Lesung, setelah beristirahat sebentar serta menghangatkan badan dengan membuat api unggun kecil, membuat kopi, dan beberapa batang rokok saya memutuskan untuk tidak berbuat apa-apa lagi selain menunggu pagi ( kayak lagunya Peterpan aja..wakakaka ).

Matahari mulai menampakkan keperkasaannya, sinar hangatnya mencoba mencairkan kebekuan dalam relung-relung raga yang telah cukup dihantam dinginnya malam selama perjalanan. Api unggun yang mulai padam mulai berkobar kembali setelah beberapa ranting kering ditambahkan. It's time for another cup of coffee...

Let's start ...situs yang yang satu ini memang tergolong unik, bukan karena bentuknya yang menyerupai lesung ( tempat menumbuk padi ), mungkin begitu anggapan sebagian orang dan juga tanggapan dari pihak purbakala ( yang menurut saya kurang ambil peduli dengan temuan seperti ini, karena kurangnya dana penelitian dan juga tiada temuan berharga lainnya dilokasi ).

Lokasi ini tepatnya  berada + 1740 m dpl dan dapat anda ketahui pasti di Google maps atau Google Earth dengan koordinat 7° 46' 10.01" S  112° 38' 4.21" E . dilokasi yang berukuran 3.7 m X 3.4 m ini bagaikan sebuah pondasi rumah yang hendak dibangun, berlantaikan batu berukuran + 30 - 35 cm dan memiliki ketebalan hingga  + 10 cm yang terpahat rata hampir menyerupai ubin batu jaman sekarang.


Batu berbentuk seperti perahu ini memang sepintas mirip lesung mengingat bahwa penemu batu ini adalah penduduk setempat yang notabene adalah para petani atau pekebun yang  sedang mencari kayu bakar  atau sedang merumput untuk ternak-ternak mereka dan biasa menggunakan lesung sebagai tempat menumbuk padi.

 
para wanita menumbuk padi menggunakan lesung di daerah Malang Jawa Timur

 
lesung kayu dari Jawa Tengah

 lesung batu abad 18 dari Lingga -Riau

Saya sama sekali tidak mendapatkan data-data sama sekali dari pihak terkait tentang situs ini, yang mengherankan adalah pihak berwenang hanya membiarkan saja pandangan publik  atau masyarakat awam tentang keberadaan benda purbakala seperti ini, anggapan bahwa pahatan batu ini adalah sebuah lesung batu adalah terlalu tergesa-gesa.
Batu berbahan dasar andesit dan berbentuk perahu ini berukuran panjang + 175 cm, lebar + 70 cm, tinggi + 50 cm dengan ketebalan + 10 cm, saya mencoba mengukur kedalamannya yang penuh bekas genangan air hujan dan yang mengherankan lagi adalah penuh berisi berudu katak. Dari tubir hingga dasar mencapai + 30 cm. Dan posisinya menghadap arah Utara Selatan atau kearah puncak Gunung Arjuna. Arah hadap seperti ini biasa kita temukan pada kebudayaan megalitikum,bahkan hampir semua kubur batu sejaman arah hadapnya sama, baik itu hingga kubur batu Tana Toraja sekalipun menghadap arah Utara Selatan dengan posisi kaki menghadap Utara sedang kepala berada di arah Selatan.


Bagi orang-orang yang biasa bergerak dibidang sejarah apalagi arkeologi, sepintas lalu saja bisa diambil kesimpulan bahwa yang sedang dihadapan mereka sebenarnya bukan merupakan sebuah lesung melainkan sebuah Sarkofagus* atau sebuah peti mati batu.
Dibawah ini adalah sedikit contoh gambar peti mati batu yang pernah ditemukan.

 Stone coffin dari Inggris.
Dan ini adalah peti batu yang ditemukan di daerah Bali.

Dan juga di daerah Bondowoso Jawa Timur
Peti mati batu populer sekali pada jaman megalitikum yang berkurun antara 1000 SM - 100 M digunakan sebagai tempat menyimpan mayat para leluhur yang kebanyakan adalah para kepala suku atau pemimpin dari penduduk setempat di masa itu.
Dijaman ini penggunaan alat-alat dari logam telah berkembang pesat, sehingga tidak terlalu sulit untuk memahat batu menjadi sebuah keperluan sehari-hari.
Diatas bagian kepala terdapat bejana atau bokor batu yang berguna sebagai tempat menaruh barang barang berharga si mati, berukuran + 50 X 60 cm.

Dan juga beberapa batu tegak yang saya perkirakan adalah tiang-tiang sebuah dolmen*.

Sangat disayangkan sekali tutup dari sarkofagus dan dolmen ini telah beralih tempat, dan raib entah kemana. Sedangkan beberapa batu telah berpindah tempat akibat ulah para peziarah tempat keramat yang mencoba merekonstruksi ulang tempat ini sesuai dengan keinginan mereka hingga merubah konstruksi awal bangunan.
Bahkan saat saya meneliti batu-batu yang berserak di sekitar, saya sempat menemukan batu yang memiliki bentuk bibir tepat di tengah-tengahnya. Ini mengingatkan saya akan batu bertapak yang saya temukan beberapa waktu lalu.
Tidak dapat dipungkiri penemuan benda purba seperti ini menguatkan dugaan saya bahwa di daerah Jawa Timur atau pulau Jawa pada umumnya sekitar 2500 tahun lalu telah hidup kelompok-kelompok masyarakat yang telah memiliki peradaban dan juga memliki sistem pemerintahan.
Kita lihat betapa halusnya bentuk sarkofagus tersebut, menunjukkan kepiawaian pembuat sarkofagus menggunakan peralatan logam untuk membentuk batu andesit menjadi sebua peti mati batu. Saya tidak menemukan sebuah patung arca atau prasasti yang membuktikan memang bukanlah sebuah situs era kerajaan yang ada di Jawa, karena kerajaan di Jawa Timur yang tertua seperti kerajaan Kanjuruhan berdiri abad ke 6 M. jadi memiliki jeda waktu sekitar 1000-1500 tahun hingga muncul kerajaan-kerajaan besar di Jawa.

Pertanyaan saya berikutnya adalah :
Lalu dari mana ilmu pengetahuan penggunaan logam yang berkembang saat itu..?
Kemanakah masyarakat-masyarakat yang ada pada masa itu, kenapa jejak mereka seakan lenyap ditelan bumi hingga timbul kembali kerajaan kerajaan pada era selanjutnya yang selang 1000 tahun tersebut..?
Seperti apakah masyarakat yang ada pada saat itu...?

Saya akan mencoba mengangkatnya pada bahasan saya yang lain, not now...wakakakaka
Dan ini foto salah satu penghuni kawasan sarkofagus yang asyik mengikuti kemana saja saya melangkah.

*
Sarkofagus adalah suatu tempat untuk menyimpan jenazah. Sarkofagus umumnya dibuat dari batu. Kata "sarkofaus" berasal dari bahasa Yunani σάρξ (sarx, "daging") dan φαγεῖνειν (phagein,"memakan"), dengan demikian sarkofagus bermakna "memakan daging".
Sarkofagus sering disimpan di atas tanah oleh karena itu sarkofagus seringkali diukir, dihias dan dibuat dengan teliti. Beberapa dibuat untuk dapat berdiri sendiri, sebagai bagian dari sebuah makam atau beberapa makam sementara beberapa yang lain dimaksudkan untuk disimpan di ruang bawah tanah. Di Mesir kuno, sarkofagus merupakan lapisan perlindungan bagi mumi keluarga kerajaan dan kadang-kadang dipahat dengan alabaster
Sarkofagus - kadang-kadang dari logam atau batu kapur – juga digunakan oleh orang Romawi kuno sampai datangnya agama Kristen yang mengharuskan mayat untuk dikubur di dalam tanah.
Dolmen adalah meja batu tempat meletakkan sesaji yang dipersembahkan kepada roh nenek moyang. Di bawah dolmen biasanya sering ditemukan kubur batu. Dolmen yang merupakan tempat pemujaan misalnya ditemukan di Telagamukmin, Sumberjaya, Lampung Barat. Dolmen yang mempunyai panjang 325 cm, lebar 145 cm, tinggi 115 cm ini disangga oleh beberapa batu besar dan kecil. Hasil penggalian tidak menunjukkan adanya sisa-sisa penguburan. Benda-benda yang ditemukan di antaranya adalah manik-manik dan gerabah.


Sumber : wikipedia, Google Earth, Google Images

Rabu, 10 November 2010

Ancient Stone Gate

Sebenarnya banyak sekali hasil keluyuran saya beberapa waktu lalu...cuma saya belum sempat mempostingnya..maklum, selain pekerjaan dan kesibukan dirumah, kebun, mungkin akibat sakit lama yang kambuh membuat saya harus sering beristirahat, untuk sementara waktu kegiatan menulis saya di blog berkurang....
Sebagai contoh, salah satu hasil dari keluyuran pada tanggal 11 Juni 2010 ini mungkin cukup menarik dan juga sedikit membuat bingung saya juga....

Cerita ini akan saya mulai, berbekal hanya dengan vespa kesayangan dan seorang teman yang selalu menemani kemanapun saya berkelana. Siang menyengat meski mendung menggayut tanpa alasan jelas...deru mesin Italia mengalun merdu, menyentak angin jalanan yang menebarkan hawa panas dan membiaskan fatamorgana....
(wakakakakaka....kata - kata yang terlalu puitis..).

8 kilometer dari arah rumah menuju ke arah Malang terdapat kebun raya Purwodadi yang siang itu nampaknya sepi dari pengunjung. Vespa tua sudah terparkir di pinggir pintu masuk. Dihadapan saya Gunung Arjuna dan Welirang berdiri ditempa matahari menimbulkan efek tersendiri, disebelah kiri depan lamat-lamat masih terlihat puncak bukit atau gunung Wedon. Hampir saja niatan untuk masuk Kebun Raya Purwodadi menjadi tujuan final saya hari itu, kalau tidak karena saya memikirkan teori-teori sejarah dalam pikiran saya yang tiba-tiba muncul, mungkin tiket masuk sudah berada di tangan.

Vespa mulai saya starter, teman saya bertanya " mau kemana lagi bos..?" heran dia menatap saya. "udah ikut aja coy.." sahut saya sekenanya. 500 meter dari pintu Kebun Raya Purwodadi merupakan pertigaan Purwodadi menuju daerah Nongkojajar, disitu saya berbelok dan menancap gas dalam-dalam mengingat daerah yang berbukit-bukit dan jalan yang berkelok-kelok. Tak berapa lama saya kemudian sampai di pertigaan kecil, tanpa pikir panjang dengan hati-hati vespa mengarah menuju jalan beraspal kampung yang saya tidak tahu pasti dimana ujungnya tersebut. Aspal yang mulai rusak membuat perjalanan dengan vespa bagaikan naik odong-odong, bergoyang tanpa henti. 25 menit selanjutnya saya berhenti di sebuah bukit yang nampaknya cukup baik buat melepas kepenatan dan memberi kesempatan bagi vespa tua mendinginkan mesinnya. Tanpa sengaja mata ini tertuju pada sebuah tonjolan batu yang nampak tersembul diantara rerumputan. Karena posisi batu tersebut lebih tinggi dari jalan dan berada disisi bawah bukit, membuat saya semakin tertarik mengingat di kawasan ini batuan besar sangat jarang ditemukan dikarenakan bukan merupakan laluan lahar panas ataupun berdekatan dengan gunung berapi.


Batu tersebut rupanya menjulang dari bawah bukit dengan ketinggian saya perkirakan, mencapai 20 - 25 meter dengan perlahan saya mencoba untuk turun memeriksa, betapa lebih terkejutnya saya karena rupanya tidak hanya satu batu saja yang saya temukan melainkan dua buah..!! layaknya seperti sebuah pintu gerbang atau gapura*.


Karena medan yang terlalu sulit untuk menuruni bukit tersebut, akhirnya saya mencoba memutarinya mencoba sisi yang lebih landai, beruntung saya bertemu beberapa orang warga lokal yang rupanya baru saja merumput dan mencari kayu bakar, tanpa berlama-lama untuk berbasa basi saya mencoba mengorek sedikit keterangan tentang dua buah batu yang menyerupai gapura tersebut, sayang tiada keterangan yang berarti selain saya mendapatkan nama desa lokasi batu tersebut. Mereka penduduk kampung Sempu, tempat lokasi dimana batu ini berada.


Baiklah, melihat batuannya dapat diperkirakan batuan ini jenis andesit yang merupakan jenis batuan yang paling sering ditemukan di daerah yang aktivitas vulkaniknya tinggi seperti Indonesia. Yang menariknya batuan ini seperti bentukan alam yang hampir persis menyerupai tugu gapura, berdiri bersisihan seakan-akan merupakan pintu gerbang menuju suatu tempat,sebagaimana pintu masuk candi-candi jaman dulu. Lebih menguatkan dugaan saya akan batu ini tidaklah sekedar batuan alam semula jadi adalah begitu saya mencapai dasarnya yang rata, ternyata didepan dua batu ini terhampar genangan air layaknya kolam yang penuh ditumbuhi kangkung dan semanggi yang setidaknya memiliki luas +50 meter persegi. Sedangkan sungai terdekat berjarak 400 meteran dari lokasi dan saya juga sulit mencari sumber air di sekitar lokasi, mengingat banyaknya volume air, sedangkan tidak ada satupun jenis vegetasi khas yang biasanya saya dapati di sekitar sumber air.


Saya mendongak keatas menatap matahari yang terlindung dibalik bukit dimana sepotong jalan tepat berada diatas bukit, pikiran melayang-layang , kalau saja memang batu ini merupakan pintu gerbang bekas kebudayaan atau peradaban setidaknya harus ada sesuatu disisi bukit sana. Tanpa pikir panjang saya mendaki lagi bukit yang tepat berada dibelakang gerbang batu itu. Matahari masih terang memancar tepat berada diantara gunung Arjuna dan Welirang dan didepannya berdiri gunung Wedon.


Saya tidak bisa berkata apa-apa lagi, jadi tepat dibalik dua batu yang menyerupai gerbang atau gapura ini adalah gunung Arjuna. Yang menjadi pertanyaan saya adalah apakah memang dua batu itu memang asli bentukan alam hingga seperti gapura , atau memang merupakan sisa kebudayaan prasejarah (  mengingat bahwa kebudayaan manusia Jawa telah ada 600.000 tahun yang lalu ). Apakah manusia prasejarah telah memiliki pemikiran dasar tentang fungsi sebuah pintu gerbang..?

Masih banyak pertanyaan yang tersisakan, kenapa gapura purba ini  menghadap ke arah gunung? belum lagi teori saya sendiri tentang kebudayaan Jawa purba yang masih perlu penelitian lebih lanjut.
Well.. mungkin saya harus lebih meluangkan waktu lagi melakukan research dan mencari literatur berkaitan dengan kebudayaan manusia purba di Jawa.

*Gapura adalah suatu struktur yang merupakan pintu masuk atau gerbang ke suatu kawasan atau kawasan. Gapura sering dijumpai di pura dan tempat suci Hindu, karena gapura merupakan unsur penting dalam arsitektur Hindu.
Gapura juga sering diartikan sebagai pintu gerbang. Dalam bidang arsitektur gapura sering disebut dengan entrance, namun entrance itu sendiri tidak bisa diartikan sebagai gapura. Simbol yang dimaksudkan disini bisa juga diartikan sebuah ikon suatu wilayah atau area. Secara hirarki sebuah gapura bisa disebut sebagai ikon karena gapura itu sendiri lebih sering menjadi komponen pertama yang dilihat ketika kita memasuki suatu wilayah.
Sumber : wikipedia , google image

Selasa, 09 November 2010

Epidemi Menari Tanpa Henti

Setelah membahas tentang Epidemi tertawa di Tanganyika, saya akan membawa anda kembali ke suatu epidemi lain yang terjadi abad pertengahan di Eropa, kali ini epidemi menari.
Malam Natal tahun 1021, 18 orang berkumpul di luar sebuah gereja di kota Kölbigk Jerman dan menari dengan liarnya.Pendeta gereja yang sedang melakukan misa tidak dapat melanjutkan misa dengan hiruk-pikuk yang terjadi di luar gereja, dengan segera memerintahkan mereka untuk berhenti. Warga yang sedang asyik menari ini mengabaikan peringatan dari sang pendeta, malahan mereka saling berpegangan tangan dan menari membentuk lingkaran, bertepuk tangan, melompat, dan bernyanyi secara serempak. Pendeta tersebut mulai marah, dan dalam  sejarah lokal mencatat, bahwa pendeta tersebut mengutuk mereka untuk menari selama setahun sebagai hukuman atas kesembronoan dan tindakan keterlaluan mereka. Dan akibatnya tidak sampai Natal berikutnya para warga yang melakukan tarian mendapati keadaan mereka mulai tidak dapat mengendalikan  anggota badan mereka. Tubuh mereka merasa lelah dan letih.Dan akhirnya tertidur, bahkan beberapa dari mereka tidak pernah terbangun lagi.

Memang bagi kita, cerita  dari orang-orang abad pertengahan sulit dipercaya. Apa yang mendorong  warga untuk menari mungkin dikaitkan dengan  rapalan-rapalan doa diiringi gerakan tubuh manusia yang berkaitan dengan  upacara keagamaan serta kekuatan supranatural. Tapi meskipun banyak penulis sejarah menjelaskan hal ini bisa saja hanya merupakan legenda, kita tidak perlu menganggapnya sebagai  sebuah  cerita yang nyata. Banyak sumber menunjukkan bahwa para penulis sejarah ini jelas mungkin telah melebih-lebihkan peristiwa sebenarnya. Apa yang terjadi  di Kölbigk merupakan awal pertama dari cerita tentang epidemi menari.
Cerita tentang  tentang serangan dari epidemi menari ini mulai tak terbendung, dan terkadang berakibat fatal, kejadian selanjutnya epidemi menari yang terjadi di kota Erfurt di Jerman tahun 1247. Tak lama setelah itu, 200 orang yang dikatakan sebagai penduduk yang menari  tanpa henti   di sebuah jembatan di atas Sungai Moselle di Maastricht hingga  mengakibatkan jembatan  itu runtuh, dan membuat para penari tersebut tenggelam semuanya. Demikian pula, cerita berlanjut  di abad pertengahan,tentang epidemi tarian yang mengerikan ini, di  tahun 1374, sebuah lanjutan epidemi menyapu  wilayah Jerman Barat, daerah yang berada di daratan rendah, dan timur laut Perancis . Dijelaskan bahwa ribuan orang menari  tanpa henti selama berhari-hari  bahkan berminggu-minggu, menjerit-jerit mengerikan seakan mereka mendapat visi kematian dan memohon kepada para pendeta dan biarawan untuk menyelamatkan jiwa mereka. Beberapa dekade kemudian, paderi dari biara dekat kota Trier mengingat kembali epidemi  ini di mana ia melihat sekumpulan para penari yang menari dengan hebatnya seakan mereka  sedang berhalusinasi atau kerasukan, mereka menari dengan melompat-lompat selama 6 bulan, sebagian dari mereka mati setelah mengalami patah rusuk pinggang. 

Pada skala yang jauh lebih besar,sebuah wabah yang sama melanda kota Strassbourg tahun 1518, tepatnya pada bulan Juli disebuah jalanan sempit kota Strassbourg  Perancis, seorang wanita yang dikenal bernama Frau Troffea mulai menari dengan sekuat tenaga dan dengan liarnya hingga empat sampai enam hari lamanya. Dipenghujung minggu 34 orang mulai mengikuti apa yang dilakukan Frau Troffea dan pada satu bulan kurang lebih 400 orang telah tercatat ikut menari tanpa henti..

Pihak berwenang menegaskan bahwa tarian ini bertujuan untuk melepaskan diri dari rasa tersiksa, tetapi pada akhir musim panas lusinan warga Alsatian yang melakukan tarian ini akhirnya menemui ajal diakibatkan serangan jantung, stroke, dan kelelahan yang luar biasa akibat telah menari tanpa henti.
 Setahu saya film India juga begitu...sang aktor dan aktris sebelum meninggal sempat menyanyi dan dan menari...wakakakakaka
Sumber : wikipedia, google images

Pengikut